Jumat, 23 Oktober 2020

5 Prinsip Memaknai Sakit Client



5 Prinsip Memaknai Sakit Client

Dalam Praktik Healing (Bag 2)


Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh


Jika sebelumnya atau minggu yang lalu kita telah membahas prinsip pertama dan prinsip kedua, maka hari ini kita akan bahas dua prinsip lagi. Sehingga di waktu dan kesempatan yang akan datang tinggal membahas prinsip terakhir, atau prinsip kelima. 


Sekadar mengulang prinsip yang dibahas sebelumnya adalah:


1. Dari Allah

2. Salah Diri Sendiri


Sekarang prinsip ketiga yaitu: DEKATI, DATANGI ALLAH. 


Kenapa mesti mendekati Allah? Karena kalau kita jauh Allah pun jauh. Kalau kita dekati, Allah pun dekat hee..


Adalah tak mungkin kita meminta pada sesuatu yang jauh dan tak terjamah oleh iman kita. Adalah tak mungkin kita berbisik dalam doa pada sesuatu yang tidak dekat dengan kita. Itu sebuah permintaan yang tidak serius dan tidak bersungguh-sungguh. 


Karena itu terapis harus mendekat dengan Allah. Dengan demikian secara tidak langsung terapis  mengajak clien juga mendekat dengan Allah. Jika terafis berdekatan dengan Allah maka yang berwujud padanya kemudian adalah buah hikmah dan bahasa hikmah. Tatapan matanya welas asih, lembut dan tenang. Sadar diri siapa yang layak, siapa yang pandai. Tahu diri siapa yang memegang kekuasaan atas sesuatu. Raut wajah dan senyumannya sedekah, hingga kedamaian benar-benar berwujud karena Allah jadikan hati menjadi damai dan tenteram.


Kalau  sakit jangan buru-buru dikasih obat. Kenapa? Karena obat bukan penyembuh. Ia hanyalah pelengkap ikhtiar karena Allah suruh kita berobat. Penyembuh tetap menjadi otoritas Allah. Itu tak akan pernah terganti.


Ingat kisah Nabi Musa AS, dikutif dari kitab Fathul Majid, syekh Nawawi, Banten. Dituliskan tentang Nabi Musa yang sakit gigi. Musa datang ke Allah, mengadu tentang sakitnya. Maka Allah kemudian memintanya memetik satu rumput di suatu tempat.


"Letakkan rumput itu pada gigimu yang sakit," kata Allah.


Maka seketika itu sakit gigi Musa AS sembuh. 


Setelah beberapa waktu berlalu, sakit itu kembali kambuh. Nabi Musa pun bergegas mengambil rumput yang dijadikan obat sebagaimana pernah diberi petunjuk oleh Allah. Tapi anehnya, sakitnya malah tambah parah.


Nabi Musa menyeru Allah: "Bukankah Engkau memerintahkanku dan menunjukkanku untuk ini?"


Allah menjawab: "Pada sakitmu pertama kau datang padaku. Tapi pada sakit kedua kau mendatangi rumput itu, bukan mendatangi-Ku."


Sahabat, prinsip ketiga ini, dilandasi oleh pentingnya mendekat dan mendatangi Allah lebih dulu, tanpa mengeyampingkan obat. Karena memang terapi kita tidak memberi obat tapi supaya berjumpa dengan kesembuhan. Ini penting bagi terapis dan penting mebawa client menjadi lebih dekat denga Tuhannya.


Sebagaimana  Allah menegaskan di dalam QS Al Baqarah: 186 berikut ini:


"Dan  apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka Aku sungguh dekat. Aku kabulkan permohonan yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu. Hendaklah mereka memenuhi perintahKu agar mereka memperoleh kebenaran."


Di dalam hadist qudsi, Allah berfirman: "Aku dalam sangkaan hambakKu dan Aku akan selalu bersamanya ketika ia mengingatKu."


Masih dalam penggalan hadist qudsi tersebut kata Allah lagi: " Jika ia mendekat kepadaku sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekatiKu sehasta, maka Aku mendekatinya sedepa. Dan jika ia mendekati Aku berjalan kaki, Aku mendekatinya berlari lari kecil.


Sahabat, dekati Allah. Maka Allah mendekat untukmu. Jika sudah demikian baru kemudian kau pintalah apa yang hendak dipinta. Suruhlah clien meminta dengan wasilah terapis. Suruhlah clien berdekatan dengan Allah. Lalu kemudian tak jarang clien pun menangis sesenggukan. Dia adukan perihal sakitnya dan dia ikhlas pasrah atas ketentuanNya. Maka kemudian berasa nyaman sekujur tubuhnya. Padahal belum lagi akan ditapping. Kalau sudah nyaman ya sudahlah, gak usah di tapping. Simpan buat besok-besok lagi hehe.


Seperti kemarin client saya dari kota yang jauh dari provinsi berbeda. Ketika masuk dan duduk di ruang terapi tak ada yang dikatakannya kecuali bersamaan dengan air mata. Ibu-ibu, umurnya 60 tahun. Cerita kesedihan tiada terperi. Jika saya tak menjaga hati dan lupa akan 5 prinsip ini, terlonjak kaget saya dengar kepiluannya. Sungguh baru kali ini kepiluannya menghujam hati siapapun, termasuk saya. Kenyataan yang tak layak namun nyata dalam hidup.


Kemudian sang ibu itu dapat pulang dengan berhias senyum di wajahnya. Berulang-ulang dia ucapkan terima kasih, dari ruang terapi hingga di teras rumah. Kesedihan tiada terperi itu ternyata dapat melegakan hatinya ketika dia berhasil diajak dekat dengan Allah. Sepanjang terapai tak putus-putus air matanya. So dekati Allah dan datanglah pada Nya. Terapis hanya wasilah.


Prinsip keempat: HATI TIDAK LALAI

Saya langsung saja nukilkan hadist riwayat Muslim: "Berdoalah kepada Allah dan kamu meyakini akan dikabulkan. Ketahuilah, Allah Azza Wa Jalla tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.


Hati yang tidak lalai menjadi prinsip dalam praktik terapis. Dalam tekhnik hal ini telah masuk dalam bahasan YKIP. Dimana, baik terapis dan client sama-sama dalam keadaan yakin dan khusuk mengakses zona Allah. Tak lagi ada kepikiran soal tagihan yang belum sempat diambil. Tak lagi mikir bagaimana pelanggan yang mau bayar hutang hari ini. Tak lagi mikir jemuran yang kehujanan. Abaikan. Hati yang tak lalai jadi syarat doa didengar Allah.


Hati yang tidak lalai ini menjadi indikator kesungguhan terapis dan client di dalam meminta kesembuhan terhadap Allah. Tidak semua orang yang sakit itu ingin sembuh. Ada kadang memang orang itu merasa tak ingin berubah dari apa yang dialaminya. Sebagai terapis, penting memetakan dan memusatkan apa goal yang diinginkan bersama, sehingga satu frekuensi dan satu energi yang sama.


Orang yang menganggap bahwa merokok itu dapat meningkatkan produktivitas kerjanya, sehingga dengan merokok seseorang semakin merasa produktif. Ada persangkaan yang keliru di dalam keyakinannya sehingga jika orang demikian diterapi untuk berhenti merokok, maka dia hanya akan mengakses data bawah sadarnya, yakni mendapatkan  apa persangkaan yang ada di dalam hatinya semata. 


Bahwa orang hanya akan mendapatkan apa yang ia fokuskan, bukan pada apa yang  Diinginkan. Kita ingin clien sembuh, tapi dia melalaikan hatinya dengan memiliki pilihan lain dengan merasa nyaman dengan keadaannya, maka yang dia tak akan berjumpa dengan yang tak diinginkannya. Percuma. Tak guna. Allah hanya akan jadikan pada sesuatu sesuai apa sangkaan dalam hati itu sendiri. 


Buya Hamka  pernah ditanya seorang laki-laki dengan menggebu-gebu. "Buya, sungguh tak sangka, ternyata di Mekkah itu ada wanita "tidak baik" juga?" tanya lelaki itu. Buya menjawab:


"Owh ya, saya di Los Angeles dan New York dan Masya Allah, di sana tak ada wanita tidak baik."


"Ah, mana mungkin Buya? Kalau di Mekkah ada, Amerika sudah pasti gudangnya, banyak," sahut lelaki itu.


Maka kata Buya Hamka, " Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari."


Nah, ini menunjukkan betapa sebuah kenyataan kemudian bergantung kepada apa yang menjadi fokus kita, di mana hati punya tendensi.  


Jika fokus menjadi domain pikiran, maka hati yang tidak lalai adalah domain rasa (hati).  Jika fokus akan memberi kekuatan pada pencapaian, maka "rasa" yang menjadi domain hati memiliki kekuatan jauh lebih dahsyat.  Dikatakan hati (heart) memiliki elektromagnetik 5000 kali lipat lebih besar dari pada otak. Hati memiliki 40.000 saraf neuron yang membuat seolah dia punya otak sendiri. 


"Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa (hati) itu. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya (QS. Asu Syams:9-10)


Maka menjaga rasa dengan hati yang tak lalai sesungguhnya  mensucikan perjumpaan dengan Allah.  Sejatinya pula hati yang tak lalai adalah esensi dari tujuan hanya menguatkan 

Copas dari YKIPS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar